Mana kata yg benar, diagnosis atau diagnosis? Pertanyaan terkait kata yg salah atau mungkin benar begitu sebagai salah satunya pertanyaan yg kerap di ajukan pemakai bahasa Indonesia.
Apabila penanya punya maksud paham bentuk baku serta tak baku suatu kata, pertanyaannya bukan demikian lantaran bentuk baku tak terjalin secara benar atau tidaknya suatu kata.
Merasa bentuk baku jadi bentuk yg benar serta bentuk tak baku jadi bentuk yg tak benar udah berubah menjadi salah kaprah ditengah-tengah penduduk. Oleh sebab itu, saya bakal memperjelas soal itu biar tak lagi yg merasa bentuk yg baku jadi kata yg benar, sekurang-kurangnya pembaca tulisan ini.
Simak Juga : kata baku dan tidak baku
Mana kata yg benar, diagnosis atau diagnosis? Kedua-duanya benar. Mana bentuk yg baku? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , bentuk yg baku merupakan diagnosis, dan diagnosis sebagai bentuk tak baku.
Walaupun demikian, diagnosis tidaklah kata yg salah lantaran pun kerap dimanfaatkan oleh penutur bahasa Indonesia. Diagnosis diserap dari bahasa Belanda, analyse, dan diagnosis diserap dari bahasa Inggris, analysis.
Diagnosis serta diagnosis udah sesuai mempunyai bentuk sama dengan morfologi bahasa Indonesia. Oleh maka itu, bentuk diagnosis serta diagnosis tak menyimpang prinsip bahasa Indonesia.
Bolehkah bentuk yg tak baku dimanfaatkan? Bisa, ditambah lagi bentuk tak baku yg pemakaiannya begitu beradu dengan bentuk baku, seperti mesjid (tak baku menurut KBBI) serta masjid (baku menurut KBBI) .
Menentukan kata yg bakal dimanfaatkan sebagai hak penutur. Akan tetapi, memanfaatkan kata baku diminta dalam keadaan sah.
Dalam keadaan tak sah, umpamanya penuturan keseharian, tak ada larangan memanfaatkan kata tak baku. Keterangan lebih panjang perihal keadaan sah serta pemanfaatan bahasa baku bakal saya tuliskan dalam peluang lain.
Kembali lagi bab bentuk baku serta tak baku barusan, pada perkara kata resapan Inggris serta Belanda yg selesai dengan –al (bagian resapan dari bahsa Inggris) serta –il (bagian resapan dari bahsa Belanda) , umpamanya, J. S. Badudu dalam buku Berikut ini Bahasa Indonesia yg Benar (1983) halaman 77 serta 78 berasumsi kalau semua kata resapan dalam bahasa Indonesia yg selesai dengan –il mesti di ubah mempunyai bentuk berubah menjadi kata yg selesai dengan –al, umpamanya strukturil, resmi, rasionil berubah menjadi struktural, resmi, rasional—maksudnya, kata resapan berakhiran –al sebagai bentuk baku.
Pertimbangannya, dengan ambil bentuk –al, bukan –il, ada kesejajaran bentuk di antara banyak kata bentukan yg seasal morfem dasarnya serta mempunyai bentuk lebih serupa. Umpamanya, resmi serta rutinitas lebih bersisihan mempunyai bentuk ketimbang resmi serta rutinitas.
Bahasa Indonesia kekinian memanfaatkan kata resapan Inggris serta udah tinggalkan kata resapan Belanda. Walau begitu, sejumlah kata resapan Belanda masih dimanfaatkan lantaran sejumlah argumen.
Badudu (1983) mengatakan alasan-alasan itu pada perkara kata yg selesai dengan –il serta –al. Dia beralasan kalau bila ada dua bentuk kata yg tidak sama lantaran yg satu selesai dengan –il serta yg satu dengan –al serta tidak sama juga maknanya, ke dua bentuk itu mesti dibiarkan.
Umpamanya, kata moril (resapan Belanda, moreel ; dalam bahasa Inggris akhlak, morally, morale) serta kata akhlak (resapan Belanda, moraal ; dalam bahasa Inggris akhlak) tidak sama maknanya dalam bahasa Indonesia. Pemberian moril, umpamanya, tak dapat di ubah berubah menjadi pemberian akhlak.
Argumen Badudu itu tidaklah permasalahan prinsip, namun soal keharmonisan. Jadi, memanfaatkan bentuk strukturil, resmi, rasionil sesungguhnya tak salah pada dasarnya bahasa Indonesia, namun cuma tak serasi dengan bentuk lain.
Walaupun demikian, ada pertanyaan penting yang wajib dijawab sebelum memanfaatkan suatu bentuk dari dua bentuk : apa argumen menentukan suatu bentuk itu? Umpamanya, kenapa Anda memanfaatkan strukturil, bukan struktural? Walaupun sebenarnya, sebagian besar penutur bahasa Indonesia sekarang ini memanfaatkan struktural.
Bila Anda miliki argumen yg masuk akal memanfaatkan bentuk suatu kata, tidak hanya argumen ketidaksukaan pada kata baku tiada aspek yang pasti, silahkan gunakan bentuk itu.
Saya memanfaatkan bentuk seperti struktural, resmi, masuk akal lantaran seleras dengan bentuk yang lain, umpamanya strukturalisasi, strukturalisme, rutinitas, formalistis, rasionalitas, rasionalisasi.
Artikel Terkait : implementasi adalah
Tidak hanya itu, saya gak miliki argumen memanfaatkan strukturil, resmi, rasionil. Saya pun berasumsi kalau kita butuh memanfaatkan bentuk yg baku—tentu saja dalam keadaan resmi—agar searah dengan politik bahasa nasional yg dikerjakan pemerintah dalam meningkatkan serta membina bahasa Indonesia berubah menjadi bahasa Indonesia kekinian.
Oleh lantaran bahasa Indonesia kekinian memanfaatkan kata resapan Inggris, kata resapan Belanda, seperti diagnosis, konfrontir, strukturil udah dibiarkan. Walaupun demikian, saya tak menuding orang yg memanfaatkan bentuk yg selesai dengan –a (diagnosis) , -ir (konfrontir) , serta –il (strukturil) lantaran bagaimanapun juga bentuk-bentuk begitu menyimpan jejak kalau kita sempat begitu akrab lewat kata resapan Belanda sebelum kata resapan Inggris membanjiri bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan bentuk yg salah? Bentuk yg salah sebagai bentuk yg menyimpang prinsip bahasa Indonesia. Umpamanya, shalat. Kata ini mempunyai kandungan deret konsonan /sh/, namun penggunanya memandangnya paduan konsonan.
Jadi, dalam bahasa Indonesia shalat sebagai bentuk yg salah lantaran paduan konsonan (melambangkan satu bunyi konsonan) dalam bahasa Indonesia sekarang ini sebatas /kh/, /ng/, /sy/, /ny/, umpamanya pada kata khazanah, lantang, bunyi, nyanyi.
KBBI merasa shalat jadi bentuk gak baku dari salat. Untuk saya, shalat sebagai bentuk yg salah, bukan gak baku. Bentuk yg salah yaitu bentuk yg menyimpang prinsip bahasa Indonesia.
Walaupun demikian, tak bermakna kalau bentuk kata shalat tak bisa dimanfaatkan. Silahkan gunakan bentuk itu apabila Anda merasa kalau salat tak jadi wakil arti shalat, namun miringkan tulisannya.